Rabu, 02 Maret 2011

ASEAN-China Free Trade Agreement: LEARN TO FIGHT - NOT LEARN TO SURRENDER

Drama Tragis 1812

"In war there is no substitute for victory" (Mac Arthur), "Merdeka atau Mati" (Perang Kemerdekaan 1945).

Selama hampir 20 tahun terakhir saya banyak menulis di berbagai harian (Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Pelita, Jawa Pos dll) tentang perlunya kewaspadaan terhadap ideologi pasar-bebas. Terharulah merenu-ngi mengapa kita harus terus "menari atas kendang orang lain".

Tahun 1812 bukan saja peristiwa besar di Eropa sebagai awal jatuhnya Napoleon Bonaparte atas kekalahan perangnya di Rusia. Komponis besar Rusia Tchaikovsky memperingati peristiwa membanggakan ini dengan mencipta komposisi orkestral Overture 1812.

Namun sebenarnya 1812 juga merupakan tahun bersejarah di Asia Selatan, yaitu matinya jutaan orang miskin di Gujarat . Gubernur Bombay melarang bantuan pangan dikirim ke lokasi kelaparan. Sang Gubernur menuding betapa bodohnya para setiakawan yang tidak membaca buku Adam Smith The Wealth of Nations (1776) yang menjelaskan bahwa the invisible hand (tangan ajaib)-nya pasar pasti akan mengatasi sendiri kelaparan rakyat itu. Betullah, tangan ajaib menyelesaikannya, orang miskin berkurang, karena …mati secara massal. Inilah lelucon intelektual yang tidak lucu mengenai pasar-bebas Adam Smith sebagaimana dikemukakan pemenang Nobel Amartya Sen.

Memang tidak mudah bagi sekelompok ekonom pasar-bebas melepaskan diri dari mitos tangan ajaib-nya Adam Smith berikut kapitalisme berdasar pasar-bebas (laissez-faire) senyawanya. Setiap kali dituntut berakhirnya pasar-bebas (the end of laissez-faire), tiap kali pula doktrin pasar-bebas berdasar paham liberalisme ini muncul kembali. Kapitalisme untuk hidup memerlukan pasar-bebas sebagaimana ikan memerlukan air.

WTO dan Liberalisme Ekonomi

Kesepakatan Free Trade Agreement (FTA) sebagai kelanjutan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) adalah derivat dari ideologi pasar-bebas. WTO memiliki 152 negara anggota. WTO mengambil prinsip dan persetujuan GATT, kemudian menggantikan GATT sejak Januari 1995.

Sebelumnya WTO menetapkan kesepakatan perdagangan yang sebenarnya dipaksakan terhadap anggota-anggotanya. Orientasi WTO adalah liberalisme ekonomi, karenanya "privatisasi" merupakan agenda "paksaan" WTO yang disertai "sanksi". WTO didominisasi oleh AS, Jepang, Kanada dan Uni Eropa. Negara-negara lain yang tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru dapat diperkirakan akan bergabung sebagai dominator baru akan siap mengeksploitasi kelemahan negara-negara berkembang.

Itulah sebabnya sejak awal Sritua Arief mengecam ketika Menteri Perdagangan RI dengan mudahnya menandatangani kesepakatan Uruguay Round (multilateral trade agreement) dalam rangka pasar-bebas-nya GATT, yang menomorduakan kepentingan negara-negara berkembang. GATT diberi julukan the rich men's club. Desakan yang dikemukakan dalam The Haberler Report yang diperkuat ekonom-ekonom terkemuka yaitu Gottfried Haberler, James Meade, Jan Tinbergen dan Roberto Campos untuk menjaga kepentingan ekspor negara-negara berkembang, tidak digubris negara-negara maju (Arief 1998) dan keangkuhan GATT ini diwarisi WTO.

Keangkuhan lebih lanjut nampak dalam sidang-sidang APEC, bahwa Asia Pacific Economic Cooperation telah berubah dalam praktek menjadi Asia Pacific Economic Competition.

Serbuan Ekonomi Luar-Negeri

Dari GATT dan WTO inilah berkecamuk liberalisme (dan neoliberalisme) di Indonesia . Ini yang menyeramkan dan mengagetkan. Pada 29 November 2004 di Laos ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) ditandatangani, pihak Cina oleh Menteri Bo Xi-lai dan Indonesia oleh Menteri Mari Elka Pangestu. "Terperangkaplah" Indonesia oleh kekuatan ekonomi global, khususnya oleh China .

Barang-barang dari luar-negeri, terutama dari China secara luar biasa telah membanjiri Indonesia . Saat ini 17 persen impor nonmigas Indonesia datang dari China, sedang hanya 8,5 persen ekspor nonmigas Indonesia masuk ke China. Defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China ini bukanlah sekadar ketimpangan hubungan dagang, tetapi proses tergusurnya industri Indonesia oleh industri China . Deindustrialisasi mulai meluas. Sektor-sektor industri permesinan, perkebunan/pertanian, makanan dan minuman, plastik, tekstil dan produk tekstil, elektronik, besi baja, restoran, perdagangan retail mulai tergoyahkan dan kita boleh mencemasinya. Diperkirakan untuk masa mendatang arus predatorik ini akan makin besar dan membahayakan. Kasus ini hanya salah satu dari banyak hal di mana pemerintah terdikte oleh ide pasar-bebas dan persaingan-bebas.

Persaingan tidak identik dengan gemblengan. Persaingan, kata textbooks, menumbuhkan efisiensi dan dapat terjadinya free entry dan free exit. Kenyataannya free-entry menjadi akuisisi ganas, dan free-exit menjadi keterpaksaan mati gulung tikar.

Sudah saatnya kita dengan tegas menyusun strategi nasional menuju kemandirian dan ketahanan nasional yang tangguh. Kita pasti kalah bersaing dan jatuh tersungkur apabila tidak segera dibentuk strategi nasional secara sistematik dan jelas untuk meningkatkan daya saing, mengatasi berkecamuknya ekonomi biaya tinggi (high cost economies) dalam macam-macam bentuk destruktifnya. Telah lama industri kita dibiarkan jalan di tempat, bahkan makin keropos menjadi rongsokan. Betapa absurdnya pemerintah mudah menggelontorkan dana ke bank bobrok, tetapi sulit menolong usaha industri yang sakratul maut.

Khususnya untuk bidang manufaktur dan agro-industri kita harus segera menyusun strategi secara eksplisit berikut tuntutan-tuntutan logistik yang menyer-tainya. Kita harus mendesain "industrial and business map" sebagai list of industrial opportunities beserta input-output matrix-nya, memperkukuh pasaran dalam-negeri dengan mengolah sendiri produk-produk mentah menjadi barang jadi sebelum diekspor. Kita boleh berhutang atau mengundang investasi asing dengan tujuan tunggal: mempercepat tercapainya kemandirian dan kedigdayaan nasional.

Demi apapun, entah demi pasar-bebas, WTO, FTA, AC-FTA atau apa saja, tidak seharusnya kita lalu membiarkan industri dalam negeri hancur dan mengang-gurkan tenaga rakyat oleh persaingan tak seimbang. Kita harus senantiasa mengutamakan kepentingan nasional walaupun tetap perlu memperhatikan tanggungjawab global. Adalah infantail dan sikap "sok global" melecehkan doktrin ini dengan menudingnya sebagai nasionalisme sempit.

Perkuat Diplomasi: Menuntut Nasionalisme Importir

Mari kita belajar menjadi komandan, tidak menari atas kendang orang lain, let us learn to fight, not to surrender. Ada tiga hal yang harus kita lakukan secara simultan: sebagai renungan akhir tahun. Pertama, meningkatkan kemampuan diplomasi, meraih optimal bargaining position kita, berani menolak mengorbankan kepentingan nasional, termasuk kalau perlu menunda secara parsial pelaksanaan berlakunya FTA. Kehancuran ekonomi Indonesia toh akan tidak menguntungkan para mitra dagang luar negeri. Kedua, FTA tidak boleh mengorbankan kehidupan rakyat kita. Pelaksanaan FTA yang dipaksakan akan berubah menjadi proses pemis-kinan rakyat, hal ini bertentangan dengan butir-butir MDGs, antara lain eradication of extreme poverty. Ketiga, menggugah kesadaran nasional secara luas untuk bersama-sama tidak membiarkan Indonesia terjajah secara ekonomi, tertelan oleh monster perdagangan bebas. Khususnya kita gugah kesadaran para importir Indonesia agar tidak sekadar mengimpor demi mencari untung dengan menghancurkan industri dalam negeri, agar para importir mengemban nasionalisme, tidak semata-mata menjadi komprador dan kepanjangan tangan eks-portir luar-negeri sahabat-sahabat mereka. Menteri Perdagangan harus bisa mengendalikan dan menegur para importir yang tidak nasionalistik.

Tidak ada ruginya dituduh siapapun kita berwawasan nasionalisme sempit dan tidak ada hebatnya disanjung berwawasan nasionalisme modern. Namun bila-mana membiarkan negara ini termakan liberalisme predatorik dan menjadi derivat serta obyek pasaran luar-negeri, ini ibarat anak tanggung yang "jaim" bersemboyan "biar bodo asal sombong".

Mengajak Pemerintah Mendesain Kebijakan Industri dan Strategi Industri yang Tangguh

Pada pertemuan di PBNU tanggal 16 Februari 2010 yang lalu menarik sekali untuk kita perhatikan dialog antara Dr. Hendri Saparini dengan Menteri Perdagangan Dr. Mari Elka Pangestu. Menurut Hendri Saparini dalam rangka menghadapi AC-FTA perlu didesain suatu national industrial policy and strategy. Respon Menteri Perdagangan bisa diduga, katanya: "…memang ada yang berpandangan bahwa itu perlu, tetapi yang berkembang di dunia sekarang, tidak diperlukan… saya berpandangan bahwa para pengusaha jauh lebih tahu…".

Betapa ktinggalannya Menteri Perdagangan kita dalam development economics dan munculnya INET (Initiative for New Economic Theory). Ia mengira yang berkembang di dunia sekarang adalah ekonomi yang masih berdasar free-market, artinya neoliberalisme dan neokapitalisme yang mulai ditentang seluruh dunia terutama negara-negara berkembang, yang sejak krisis 2008 di AS, ideologi ekonomi yang telah 250 tahun dianut oleh masyarakat AS ini sekarang mulai diragukan oleh para pemikir ekonomi di AS sendiri, bahkan menggusarkan Presiden AS. Jelas Menteri Perdagangan telah secara ortodoks menyerahkan nasib industri kita kepada pasar, kepada selera pengusaha, ia belum bisa percaya akan perlunya perencanaan dan regulasi, tidak percaya bahwa kegagalan-kegagalan pasar atau market-failures lebih sering terjadi dalam upaya membangun industri nasional yang tangguh, ia masih saja lebih percaya pada liberalisasi dan privatisasi, jadi apakah Menteri Perdagangan kita adalah seorang penganut Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi) belaka? Bagi Menteri Perdagangan nasib Negara dan nasib Rakyat cukup diserahkan kepada mekanisme pasar dan inklinasi para pemodal. Jelas ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Sementara itu Hendri Saparini menegaskan kepada Menteri Perdagangan: "…inilah beda saya dengan Menteri Perdagangan, saya dan kawan-kawan justru memandang mendesain suatu industrial policy and strategy hukumnya wajib sebagai referensi bagi pengembangan industri nasional…". Tentu Hendri Saparini benar sekali.

Itulah sebabnya setelah AC-FTA awal tahun ini mulai dan efektif menyerang industri nasional, produk-produk asing khususnya dari Tiongkok membanjiri dan menyingkirkan produk-produk nasional. Deindustrialisasi menjadi-jadi dan mencemaskan. Namun, toh tidak melihat, misalnya, Menteri Perdagangan demi penyelamatan perekonomian jangka pendek mengadakan rapat-rapat darurat ataupun rapat-rapat koordinasi dengan para pengusaha secara nasional (KADIN, DEKOPIN, HIPMI, HIPPI, Asosiasi-asosiasi dll) sebagi usaha-usaha kontinjensi penye-lamatan taktis-strategis. Bank-bank tidak pula nampak dimobilisasi oleh Menteri Perdagangan agar berperan sebagai agent of development in contingency, tidak pula merasa perlu memerintahkan pemberian fasilitas kepada importir-importir yang mengimpor barang-barang yang mematikan produk-produk dalam-negeri dihentikan dst dst. Tidak kedengaran pula bahwa Menteri Perdagangan melakukan himbauan kepada para importir agar tidak asal mengimpor dan asal untung, tetapi juga menampilkan etika nasionalisme ekonominya. Lebih celaka lagi, ketika baru seminggu menjadi Menteri, pada 29 November 2004 di Laos ia menandatangani kesepakatan AC-FTA dengan Menteri Bo Xi-Lai, tetapi selama 5 tahun menjadi Menteri ia tidak secara fundamental mempersiapkan industri nasional Indonesia menghadapi malapetaka AC-FTA. Jelas ini sikap pro-pasar, bukan pro-rakyat dan mengabaikan nasionalisme ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.

Apa yang dikemukakan oleh Hendri Saparini sebenarnya selaras dengan apa yang saya usulkan sejak lama agar Pemerintah, dunia bisnis dan perbankan secepatnya mendesain "industrial and business map" berupa list of industrial and business opportunities beserta input-output matrix-nya, sehingga kita tahu memilih apa yang harus kita bangun, mana yang hanya memerlukan modal kecil, mana yang padat-karya, mana yang resources-based untuk mengurangi idleness SDA ataupun SDM. Keunggulan komparatif pun bisa kita rencanakan. Arahnya untuk memperkokoh pasaran dalam-negeri, memanfaatkan local-specifics dengan mengolah sendiri produk-produk mentah unggulan menjadi barang jadi sebelum diekspor. Ibarat kita memegang peta, maka kita tahu ke mana kita harus pergi dan memilih jalan dan kendaraannya. Dari sinilah policy and strategy of industrial development kita susun dan kita laksanakan tanpa pemborosan dan meningkatkan daya-saing

Demi apapun, entah demi pasar-bebas, WTO, FTA, AC-FTA atau apa saja, tidak seharusnya kita lalu membiarkan industri dalam negeri hancur dan mengang-gurkan tenaga rakyat oleh persaingan tak seimbang. Kita memegang teguh doktrin nasional kita (nasionalisme Indonesia ) artinya kita harus senantiasa "mengutamakan kepentingan nasional walaupun tetap perlu memperhatikan tanggungjawab global". Adalah infantail dan sikap "sok global" meleceh doktrin ini dengan menudingnya sebagai nasionalisme sempit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar